Pagi ini lalu lintas kota Jakarta seburuk pada pagi-pagi yang lain. Semua orang bergegas-gegas menuju tempat kerja. Mikrolet, metromini, kopaja, bajaj, mobil pribadi, dan sepeda motor bersaing memperebutkan ruang di jalanan Jakarta yang tak pernah berkembang.
Melintasi Jalan Kalibata, Dewi Sartika, Otista, sampai Matraman tak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Tiga puluh menit adalah waktu yang patut disyukuri, walaupun sewajarnya jarak itu bisa ditempuh dalam lima belas menit saja.
Belok ke arah jalan Proklamasi, keadaan tak lagi sebaik sebelumnya. Kendaraan dari arah jalan Pramuka sudah mengantri menuruni jembatan. Belajar dari para pengemudi metromini, aku meminjam gaya mereka menyelap-nyelip di antara kendaraan. Lintasan ke arah Menteng hingga Bundaran HI pun akhirnya membutuhkan waktu tempuh tiga puluh menit.
Radio LiteFM menyiarkan lagu-lagi lembut keluaran era tahun 80-90an. Tak jarang aku jadi ikut menyendandungkan lagu-lagu yang akrab di telingaku pada masa sekolahku dulu. Lagu-lagu itu memanggil kenangan-kenangan lama melintas ke dalam pikiranku. Tak ada yang istimewa sih, tapi cukup membuat aku melupakan sesak dan semrawutnya lalu lintas.
Kulihat jam di mobil menunjukkan waktu pukul 8.15 saat aku sampai di tempat aku harus mencari nafkah di bilangan Kebon Kacang. Jadi dari rumah sampai ke situ aku harus membutuhkan waktu satu jam tiga puluh menit. Jarak sekitar lima belas kilometer harus ditempuh selama satu setengah jam!
Aku tergoda untuk merasa marah. Tak terima dengan keadaan ini. Tapi, hei, tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Sesaat sebelum aku melirik jam itu, suasana hatiku senang dan tenang. Jadi, mengapa aku merasa harus marah dengan keadaan. Memang keadaan tak seideal yang seharusnya. Tapi punya pilihan: melupakan dan tetap merasa senang, atau memikirkan dan marah karena itu.
"Happiness lies in your own hands...." terngiang di telingaku suara Madonna menyanyikan lagu "Secret" yang kudengar enam belas tahun yang lalu kala aku tinggal di rumah Dea, temanku. Baiklah, aku memutuskan untuk mempertahankan rasa senangku ini. Dan kesesakan hidup di Ibukota tak lagi menjadi pengusir rasa senangku.
Kebon Kacang, 27 Maret 2012
Tuesday, March 27, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)
Barbra Streisand : The way we were
Memories
Light the corners of my mind
Misty watercolor memories
Of the way we were
Scattered pictures
Of the smiles we left behind
Smiles we gave to one another
For the way we were
Can it be that it was all so simple then
Or has time rewritten every line
If we had the chance to do it all again
Tell me - Would we? Could we?
Memories
May be beautiful and yet
What's too painful to remember
We simply choose to forget
So it's the laughter
We will remember
Whenever we remember
The way we were
So it's the laughter
We will remember
Whenever we remember
The way we were